Lahirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 267 Tahun 2015 untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen bagi ternak dan pakan ternak impor maupun di dalam negeri menuai banjir protes keras dari kalangan pelaku usaha dan peternak. Dalam beleid ini, hanya sapi indukan yang terbebas dari pungutan pajak.
Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Peternakan, Juan Permata Adoe mengungkapkan, bahasa atau substansi dari PMK 267 Tahun 2015, yang menyebutkan PPN 10 persen yang dipungut tidak boleh dikreditkan.
Itu artinya jika proses dari sapi menjadi daging, dan diproduksi lagi menjadi bakso, maka perusahaan pengolahan daging otomatis dikenakan dobel PPN.
"Ini yang jadi persoalan, karena dalam menetapkan PMK, pengusaha tidak diajak berdiskusi. PPN bukan menambah daya saing, tapi justru melemahkan daya saing," ujar dia.
Juan menuturkan, Kementerian Pertanian sebenarnya meminta kepada Kementerian Keuangan untuk membebaskan bea masuk sapi indukan atau sapi betina produktif, bukan PPN. Tujuannya apabila Bea Masuk dinolkan, maka penjualan sapi jenis ini akan meningkat.
"Kementan itu inginnya dibebaskan Bea Masuk untuk sapi betina produktif. Tapi dengan alasan tertentu kenapa larinya ke (bebas) PPN, jadi miss interpretasi antara keinginan dan eksekusinya. Untuk ternak lainnya kena PPN 10 persen, otomatis turunannya juga kena," ujar dia.